KALIMAT puitis tersebut sangat lekat dengan dunia traveling. Ke mana pun para traveler menginap, harapan mereka adalah ketemu hotel atau penginapan yang senyaman di rumah sendiri, a home away from home! Itu sebabnya hotel yang baik adalah yang mampu membuat para tamunya kerasan, yang entah itu diwujudkan, mulai dari fasilitas yang memadai, lokasi yang strategis, sampai hal-hal yang non teknis, pelayanan yang baik atau pun keramahan petugasnya.
Memang, hampir dipastikan tidak ada hotel yang seperti di rumah sendiri. Lagi pula, apa menariknya traveling kalau harus menginap di rumah sendiri, tentunya lebih seru kalau berbeda dengan suasana rumah, ada pengalaman baru. Nyaman seperti di rumah memang sebuah ungkapan, yang berkonotasi nyaman dan membuat sang tamu kerasan. Membuat tamu betah memang bukan monopoli hotel berbintang lima saja yang memang fully facility, tapi hotel-hotel kecil pun, mempunyai peluang untuk menjadi hotel idaman yang membuat penghuninya kerasan, feel like at home, selalu ingin kembali dan kembali lagi.
Sayangnya, dalam sebuah sarasehan yang diselenggarakan National Geographic Traveler beberapa waktu yang lalu, di mana saya termasuk di dalamnya, terungkap bahwa tidak banyak hotel-hotel di Indonesia yang mempunyai syarat-syarat yang disebut di atas. Bahkan hotel-hotel mewah pun kadang-kadang tidak mempunyai personality sebagai hotel Indonesia.
Memang, banyak hotel yang mematut diri dengan mengambil tema lokal yang kuat, misalnya, dengan mengadaptasi arsitektur dan interior setempat, tapi tetap saja breakfast-nya ala Continental yang standar. “Tidak ada yang berani menyajikan menu tradisional. Kalau pun ada, di hari ketiga para tamu sudah mulai bosan, menunya itu-itu saja,” ujar William Wongso, pakar kuliner yang hadir dalam sarasehan itu.
William maklum, para investor di bisnis hotel di Indonesia umumnya tidak mempunyai passion yang mendalam terhadap industri perhotelan, apalagi F&B. Sehingga yang ada di benak mereka adalah investasi, serta perhitungan untung-ruginya belaka.
Jay Subyakto, peserta yang lain, bahkan menyayangkan, ada hotel-hotel tertentu yang meski arsitekturnya indah, tapi sering tidak mengindahkan alam sekitarnya. Tidak ada kepedulian dari pihak pengelola untuk memberdayakan sumber daya manusia di kawasan sekitarnya, serta mengajak para tamunya agar peduli terhadap isu lingkungan, meski dalam hal sekecil sekali pun.
“Jadi, sebetulnya saya heran di event internasional beberapa waktu yang lalu, ada yang bangga bisa memecahkan rekor dunia: bisa rame-rame menyelam di laut dalam dengan anggota penyelam terbanyak. Padahal, ini kan sedikit banyak bisa merusak terumbu karang,” tukasnya.
Memang, hotel atau resor yang baik haruslah mendukung sustainable tourism, mengedepankan nilai-nilai yang selaras dengan wisata ramah lingkungan. Demikianlah dengan para tamu yang seyogyanya peduli dengan lingkungan, yang tidak sekadar membuang sampah pada tempatnya, tapi juga tidak mencoba makanan dari satwa langka atau tidak membeli cendera mata ilegal, misalnya.
Memang, berbicara tentang hotel di Indonesia tidak melulu cerita sedih. Hotel-hotel yang sederhana pun kadang-kadang meninggalkan kesan yang mendalam, bukan hanya karena tarifnya relatif murah tapi kuliner yang disajikannya pun otentik. Pisang goreng, nasi timbel, dan sambel cobek, misalnya, masih bisa dijumpai Desa Wisata Bumihayu, Subang. Begitulah pengalaman Siti Kholifah, produser acara Koper & Ransel di salah satu stasiun televisi itu.
Sementara William menemui sebuah hotel di Tomohon, Sulawesi Utara, namanya Gardenia, memiliki sajian kuliner yang mengesankan. Saya sendiri juga pernah merasakan makanan lokal di sebuah hotel mewah di Karangasem Bali, Alila Manggis. Selain makanan western, di situ juga tersedia pula makanan ala Bali yang asli, yakni mengibung – nasi dengan lauk rupa-rupa, yang dalam tradisi aslinya dimakan rame-rame. Kalau bosan makan di hotel, pihak hotel pun bersedia mengantar tamu ke warung-warung sekitar yang direkomendasi, untuk sekadar menyantap makanan setempat yang orisinal dan tentu saja nikmat.
Banyak yang harus diperhatikan kalau ingin industri perhotelan Indonesia maju. Akomodasi komersial, yang diwadahi dalam bentuk hotel atau resor tersebut, tidak hanya mampu menjawab kebutuhan standar para traveler (wisata dan bisnis), tapi juga harus mempunyai sesuatu yang unik yang membedakan dengan hotel atau resor (negara) lain, yang mengagungkan alam dan tradisi. Sesuatu yang berbeda (diferensiasi) itulah yang harus terus dicari dan dicari, kalau kita memang ingin mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain. (Burhan Abe)