Resonansi Sejarah dan Modernitas
Salah satu kekuatan puisi ini terletak pada caranya menghubungkan peristiwa historis dengan realitas digital. Bisikan dari tahun 1928, saat Sumpah Pemuda diikrarkan, menjadi pengingat bahwa nasionalisme Indonesia dibangun dari perjuangan, pengorbanan, dan kesadaran kolektif yang mendalam. Melalui narasi ini, Denny JA menegaskan bahwa di balik teknologi modern yang serba instan, terdapat akar sejarah yang tetap kuat menopang identitas bangsa.
Visualisasi leluhur yang menggali akar dan menyatukan perbedaan adalah simbol kekuatan narasi kebangsaan yang tetap relevan di era digital. Simbolisme ini menunjukkan bahwa nasionalisme tidak hanya hidup di masa lalu, tetapi juga terus berdenyut, bahkan di antara “pixel dan kode” yang mendominasi kehidupan modern.
Nasionalisme di Era Digital
Darta, sebagai tokoh sentral, menjadi representasi generasi digital. Ia hidup di tengah kebisingan algoritma dan derasnya informasi lintas batas. Namun, cinta terhadap tanah air tetap mengakar dalam dirinya, seperti yang digambarkan dengan indah dalam bait: “cintaku pada tanah air tetap berakar, seperti embun pada daun yang enggan jatuh.” Metafora ini menggambarkan keberlanjutan cinta tanah air di tengah dunia yang terus berubah.
Puisi ini juga menyoroti bagaimana dunia digital mencairkan batas negara, tetapi nasionalisme bukan sekadar konstruksi geopolitik. Ia adalah “ikatan yang merasuk jiwa,” sesuatu yang lebih dalam dan mendasar daripada sekadar peta atau batas fisik. Dalam konteks ini, nasionalisme muncul sebagai perasaan, bukan sekadar fakta.
Kritik dan Peluang
Meskipun puisi ini menyampaikan pesan positif tentang keberlanjutan nasionalisme, ada ruang untuk memperdalam analisisnya. Misalnya, bagaimana algoritma dapat digunakan untuk memperkuat nasionalisme di tengah gempuran narasi global? Apakah dunia digital benar-benar mampu menjaga identitas nasional, atau justru mengancamnya? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi relevan, terutama bagi generasi yang hidup di tengah media sosial dan budaya pop lintas negara.
Namun, Denny JA berhasil menyeimbangkan optimisme dan refleksi kritis. Ia tidak hanya merayakan teknologi, tetapi juga mengingatkan pembaca bahwa identitas nasional harus terus dirawat, meski dunia bergerak cepat ke arah digitalisasi.
Kesimpulan
“Nasionalisme di Era Algoritma” adalah sebuah puisi yang menawarkan renungan mendalam tentang identitas dan cinta tanah air di era global. Dengan bahasa yang puitis dan simbolisme yang kaya, Denny JA mengingatkan kita bahwa meskipun teknologi mengaburkan jarak dan batas, cinta terhadap tanah air adalah “rumah untuk pulang.”
Puisi ini menjadi semacam mantra baru bagi generasi digital, mengajak mereka untuk tidak melupakan akar sejarah dan identitas yang membentuk mereka, sekaligus merangkul masa depan yang serba digital.
Karya ini relevan, indah, dan penuh makna, sebuah sumbangan penting untuk diskusi tentang nasionalisme di era modern. (*)