Minuman beralkohol cukup populer di Indonesia. Pasalnya beberapa daerah di Indonesia bahkan memiliki minuman alkohol sendiri yang dibuat secara tradisional. Sebutlah Bali, tidak hanya menawarkan keindahan alam dan kekayaan budaya Nusantara, Pulau Dewata juga mempunyai beragam minuman tradisional yang berbahan dasar alkohol.
Sebutlah arak bali. Dari namanya saja, orang tentu sudah tahu arak ini berasal dari Bali. Minuman ini adalah hasil fermentasi sari kelapa dan buah-buahan, mengandung kadar alkohol sekitar 30-50 persen. Minuman keras lokal ini biasanya disajikan saat ritual atau upacara adat, tapi di era kekinian, tentu arak bali bisa dinikmati sebagai minuman keseharian – bahkan tersedia di beberapa bar modern.
Nah, di antara produk arak yang sudah dikemas secara modern, tersebutlah Jung. Menurut Anak Agung Gede Putra, sang empunya, Jung adalah minuman arak tradisional khas Bali. Produk murni tanpa additional apapun. Aroma dan citarasanya murni dari hasil destilasi sadapan bunga ental berupa nira. Jejak rasa manis dan keharumannya yang khas adalah aroma wangi palmyra (lontar/siwalan).
Dalam literasi minuman tradisional Bali, arak hanya dibedakan menjadi dua jenis. Yaitu arak basa dan arak putih. Arak basa adalah arak yang ditambahkan dengan unsur lain dengan metode rendaman atau infuse atau sejak awal didestilasi dengan “bumbu” yang ditambahkan, yang umumnya berasal dari berbagai jenis buah atau rempah-rempah. Warnanya araknya pun berubah mengikuti pengaruh bumbu tersebut.
Jung adalah jenis arak putih atau arak polos. “Bukan tanpa alasan saya hanya memilih memproduksi arak murni. Arak murni dengan penyimpanan yang baik tidak memiliki kedaluwarsa. Berbeda halnya ketika kemurniannya “diganggu” dengan tambahan “bumbu”. Ia akan memunculkan reaksi fermentasi dengan masa waktu berbeda-beda, tergantung jenis bahan tambahan yang dipakai. Sifat everlasting arak berubah menjadi memilki masa kedaluwarsa,” jelas Agung.
Kemunculan berbagai produk arak dan aneka variasinya tentu saja memperkaya saujana boga dan kuliner kita. Beberapa orang berpendapat bahwa minuman yang tidak berasal dari destilasi nira (kelapa, enau dan lontar) tidak layak menyandang nama arak. Tentu saja butuh kurasi dan penjelasan yang baik untuk mengukuhkan pendapat itu.
Agung meyakini bahwa pada akhirnya produk yang baik akan bercerita sendiri tentang dirinya. Untuk memproduk arak versi Jung, ia mengawali dengan berkonsentrasi pada dua tahap edukasi. Pertama, edukasi pada proses produksi di level pengrajin. Enhancement penggunaan alat-alat tradisional untuk memelihara kualitas rasa, menjaga standar kesehatan, mendokumentasi pengukuran bahan-bahan, serta menghindarkan kontaminasi produk sepanjang proses produksi. “Yang tidak kalah penting adalah memberdayakan masyarakat pengrajin serta konservasi lingkungan,” ujar lulusan Hubungan Internasional UGM Yogyakarta itu.
Berikutnya adalah edukasi kepada konsumen tentang tata titi laku mengonsumsi produk sehingga mendapat manfaat terbaik untuk kesehatan. “Ini sepenggal proses belajar yang saya pahami,” katanya.
Ada Rasa, Ada Kata Bernama Jung
Jung adalah nama kapal China yang bersandar di perairan kerajaan kerajaan Nusantara. Pada saat awak kapal membongkar sauh di pesisir Bali utara. Para penjelajah dari daratan China itu menurunkan perbekalan termasuk di dalamnya menurunkan guci guci tembikar. Karena diturunkan dari kapal jung maka oleh masyarakat pesisir guci guci tembikar itu di sebut guci jung. Lama-lama kata gucinya hilang benda tersebut kemudian hanya disebut jung.
Di beberapa daerah di Bali tempayan tembikar juga di sebut jun (tanpa “g” di belakangnya). Mungkin merujuk pada cerita yang sama guci jung menjadi jung.