KALAU melihat ke belakang, mengapa saya bisa menjadi wartawan, pengalaman membaca koran sejak dari SD mungkin menjadi faktor paling besar. Membaca harian Kompas terutama halaman olahraga, dengan nama-nama seperti Valens Doy, Ign Sunito, TD Asmadi, Th A Budi Susilo setiap hari menanamkan secara tidak sadar bagaimana mengetahui berita apa yang menarik dan ingin diketahui pembaca.
Saya baru serius menekuni bidang tulis menulis ketika menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi di UGM Yogyakarta, ketika ada kursus jurnalistik yang diadakan oleh Jurusan Komunikasi UGM, dengan salah satu mentornya ternyata adalah Antyo Rencoko (yang kemudian jadi teman kursus bersama di LP3Y beberapa tahun kemudian).
Sejak mendapatkan teknik dasar menulis seperti kemudian membuka pintu bagi saya untuk melihat apa yang bisa ditulis dan media mana yang mau memuatnya. Selain Kompas di kemudian hari, harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta merupakan kawah candradimuka yang secara tidak langsung “mematangkan” kemampuan jurnalistik saya.
Sebagai harian di kota pelajar seperti Yogyakarta, KR – nama populernya- memiliki banyak rubrik yang bisa diisi oleh orang luar dan mendapatkan bayaran yang “lumayan”. Rubrik dari yang serius seperti Teknologi, sampai yang ringan, seperti rubrik Sunguh-sungguh Terjadi (SST).
Rubrik SSTÂ ini terbit seminggu sekali di KR Minggu memuat cerita yang dikirim pembaca mengenai hal yang konyol dan lucu dan saya menjadi salah satu konntributor tetapnya selama beberapa tahun. Â Pada awalnya saya juga mengisi rubrik Teknologi (kolom yang diasuh Wismoko Poernomo) dengan bahan-bahan terjemahan dari minggguan berbahasa Inggris ketika itu seperti Asiaweek, Newsweek, Far Eastern Economic Review atau Times (semuanya sudah almarhum sekarang). Â
Bagaimana bisa mendapatkan bahan dari majalah-majalah tersebut yang harganya beberapa kali lebih mahal dari mingguan Indonesia?
Saya lupa persis awalnya namun kami (saya dan adik) menemukan bahwa setiap minggu setelah lewat masa edarnya, majalah ini dikembalikan ke penyalur besarnya. Nah sebelum dikembalikan ke pusat, bagian atas majalah tersebut dipotong, dan harganya menjadi turun, karena sekarang sudah berfungsi seperti “sampah”. Setiap minggu, di hari tertentu, kami akan mendatangi agen penyalur dan membeli beberapa majalah untuk diterjemahkan.
Sekarang mengingat kembali masa itu, rasanya aneh ada harian KR yang mau memuat tulisan kami, karena pastilah terjemahan yang saya buat, isinya “amburadul” karena pengetahuan bahasa Inggris jauh lebih buruk dari sekarang. Selain menterjemahkan, saya mulai menulis artikel untuk penerbitan di Jakarta seperti majalah Hai dan mingguan Bola.
Yang diperlukan sebenarnya adalah kejelian untuk melihat rubrik apa yang tersedia yang bisa diisi oleh orang luar. Hai ketika itu memiliki rubrik mengenai sekolah-sekolah menengah dari seluruh Indonesia, demikian juga dengan Bola. Saya menggunakan kesempatan itu untuk menulis sekolah saya terdahulu, SMA Xaverius Jambi.
Saya juga menulis untuk Bola, daftar acara olahraga yang akan berlangsung di daerah setiap minggunya. Ternyata belakangan, teman saya Budiman Tanuredjo (sekarang Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas) juga melakukan hal yang sama.