Pilar-pilar Perubahan
Menurut Rhenald, di Indonesia sendiri fenomena cracker tak terlepas dari pilar-pilar yang menopang terjadinya perubahan yaitu, pertama saat ini pendapatan perkapita orang Indonesia rata-rata US$ 3000 artinya semakin kuat daya beli masyarakat.
Kedua, adalah populasi pengguna ponsel di Indonesia sudah lebih mencapai 180 juta orang atau mendekati populasi, bahkan setengahnya sudah terhubung dengan jejaring sosial melalui Facebook, Twitter dan lain-lain.
Ketiga, adalah menguatnya gejala freemium dalam bisnis, yaitu dari dahulu beberapa tarif yang dianggap mahal kini sudah relatif murah bahkan free misalnya dibidang telekomunikasi.
Keempat, munculnya generasi connected (Gen C), yang cepat berubah karena terhubung satu dengan lainnya dan perubahan informasi yang begitu cepat. Gen C bukanlah sebuah kohor yang dibatasi usia, tapi dibentuk oleh teknologi digital. C, menurut penelitinya – Dan Pankraz (Australia) – bisa berarati content, connected, digital creative, cocreation, customoize, curriosity, dan cyborg. C bisa juga berarti cyber, cracker, atau chameleon.
Keempat poin itulah yang berpengaruh pada perilaku konsumen dan perilaku bisnis, menghasilkan retakan yang menimbulkan volume pasar yang semakin membesar. Namun, pertambahan volume ini akan menguntungkan satu pelaku saja, yakni seorang cracker.
Munculnya Gen C, misalnya, menimbulkan dampak yang sangat luas di Indonesia. Jutaan pasien yang menderita berbagai penyakit diam-diam mulai membentuk komunitas. Mereka memperbicangkan cara dokter-dokter menangani masalah yang mereka hadapi, saling bertukar pikiran, membuka wacana diskusi di situs kesehatan, “kuliah” melalui YouTube, berkomunikasi dalam sebuah milis, dan belakangan via media sosial.
Dengan demikian mereka datang ke dokter dalam kondisi yang lebih well-informed ketimbang pasien-pasien generasi C atau baby boomers, misalnya. Tapi sementara itu ribuan dokter di Indonesia tidak berubah. Itu sebabnya, Anda pasti bisa menebak, pasien-pasien kelas atas Indonesia berbondong-bondong beribah ke luar negeri – entah itu ke Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan Australia. Jangan salahkan mereka kalau devisa Indonesia yang dengan susah payah kita kumpulkan dari berbagai sumber menguap begitu saja.
Ini baru soal kesehatan. Soal yang sama terjadi pula pada pendidikan, perbankan, asuransi, dan lain-lain. Jelas, Anda perlu bekerja keras untuk menghadapi crackingzone ini. Sebelum para crackers dari luar negeri menimbulkan crack di sini. Mereka berpesta di kebun kita. Kapan Anda mengajak kita semua berpesta di kebun tetangga?

Cracker adalah mereka yang mampu bisa melihat celah, patahan, letusan, retak, sekaligus memanfaatkannya menjadi peluang karena mampu menerobosnya. “Cracker adalah orang yang memperbarui industri bukan lagi memperbaharui perusahaan, leader kerjaanya memperbaharui perusahaan, cracker memperbaharui industri,” tukas dosen yang dikukuhkan sebagai guru besar pada 4 Juli 2009 ini
Pria yang mengawali kariernya sebagai reporter majalah ekonomi dan bisnis ini menegaskan, dengan karakteristiknya itu, maka tak mengherankan bila seorang cracker akan dicemburui atau bahkan dimusuhi oleh para kompetitornya yang senang mempertahankan kondisi (comfort zone). Seoarang cracker bekerja lebih berat dari rata-rata leader karena membongkar tradisi industri dan persaingan.