Meski sudah berusia 64 tahun, Carlos Santana tetap menunjukkan keperkasaannya di atas panggung. Begitu pula dengan beberapa anggota bandnya yang juga berusia di atas 50 tahun, sebutlah David K. Matthews (kibor) atau Raul Rekow (perkusi), bermain sangat prima dengan ketukan yang terjaga. Kedua vokalis band Santana, Tony Lindsay dan Andy Vargas tiak hanya tampil prima, namun mampu mengajak para penonton ikut menyanyi dan bergoyang. Penampilan yang berdurasi dua jam tersebut nyaris sempurna.
Santana termasuk primadona di Java Jazz 2011. Tiketnya ludes terjual dua hari sebelum pertunjukan berlangsung. Penikmat musiknya melitas generasi, mulai dari remaja era 1970-an hingga generasi masa kini. Santana dan bandnya membawakan lagu-lagu hitsnya, mulai dari Foo Foo, Jingo, Black Magic Woman, Maria Maria, Supreme of Love, No One to Depend on, Oye Como Va, Corazon Espina, hingga Smooth.

Santana memang magma dalam Java Jazz tahun ini. Tidak hanya bagi penggemar musik jazz, tapi musik pada umumnya. Terhadap euforia ini, saya lebih suka mengutip pendapat Yuswohady. Pengamat pemasaran yag juga suka jazz ini berpendapat, Java Jazz adalah event yang luar biasa, bahkan ekuitas mereknya terkerek naik dan kini berada di puncak-puncaknya. Awareness-nya sangat tinggi tak hanya bagi pecinta jazz tapi juga pecinta musik pop yang snob menggemari jazz.
Java Jazz hadir di saat yang tepat saat konsumen Indonesia makin makin siap mengkonsumsi komoditi yang bernama musik jazz. Seiring dengan terlampauinya GDP/kapita 3.000 dolar AS sejak 2010, jumlah kelas menengah kita sudah cukup besar mencapai lebih dari 100 juta orang. Mereka tak hanya memiliki daya beli tinggi tapi juga memiliki pengetahuan memadai untuk mengunyah jazz. “Dengan momentum yang pas seperti ini saya optimis Java Jazz akan menyaingi Montreux dan Montreal Jazz Festival sebagai event jazz terbesar di dunia,” ujarnya. (Burhan Abe)