Memasarkan busana pria eksklusif super mewah memang menyimpan cerita tersendiri. Hal ini meliputi kelas sosial, kondisi psikografis dan gaya hidup konsumen yang patut dipelajari. Ada anggapan, membeli sebuah trend busana tak sekadar menikmati fungsinya, tapi juga membeli sebuah gaya hidup.
Perkembangan mode dan tuntutan penampilan menjadikan busana bagian dari kebutuhan yang tidak dapat ditunda. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada kaum wanita, namun juga pada kaum pria. Sementara itu, berbagai model busana terkini membuat konsumen pria lebih selektif untuk memilih yang terbaik. Setidaknya hal ini diamini oleh Irawati, Public Relations Manager PT Busana Perkasa Abadi (BPA), pemegang beberapa merek top seperti Ermenegildo Zegna, Versace, Versus, dan GF Ferre.
Memang, perusahaan di Indonesia yang berbasis busana pria tak sebanyak perusahaan yang menekuni busana wanita. Apalagi khusus busana pria eksklusif. Mitos di masyarakat, lebih mudah menjual busana wanita ketimbang busana pria. Alhasil, muncul anggapan jika wanita lebih gemar bersolek daripada pria, sehingga menetaskan citra bahwa wanita lebih modis ketimbang pria. Benarkah? Tidak juga!
Sebenarnya, konsumen pria jauh lebih kalem ketimbang wanita. Dalam memilih sesuatu, mereka lebih cepat memutuskan. Hal ini tentu lebih menguntungkan daripada konsumen wanita yang jauh lebih selektif. Bahkan, ada anggapan jika kaum pria lebih impulsif, sehingga menjual busana pria lebih mudah dan menguntungkan. Sementara itu, kaum wanita melihat dari semua aspek dalan keputusannya untuk membeli, seperti potongan merek, potongan harga, model, warna, dan lainnya.
Konsumen pria? Mereka tak mau repot-repot. Jika suka, mereka langsung membelinya walau ada “harga” yang harus dibayar. Namun demikian, banyak juga dari kaum pria, khususnya kalangan eksekutif yang gandrung terhadap brand papan atas. Nah, masalah timbul ketika sebuah busana dari merek favoritnya kurang “sreg” di hati. Misalnya, ukuran atau model busana itu tidak sesuai dengan ukuran tubuhnya. Maklum, busana yang dipajang di manekin ukurannya belum tentu sama dengan ukuran tubuhnya.
Fenomena ini kerap melanda di kalangan pria eksekutif. Bagaimana menyiasatinya? Merek busana pria papan atas menyadari betul fenomena itu. Sebut saja Ermenegildo Zegna yang tampil dengan servis bertajuk “Su Misura”. Seperti dikutip dari keterangan tertulisnya, program Su Misura melayani pembelian dengan ukuran yang sesuai, tentu setelah diukur terlebih dahulu, layaknya pembuatan jas (stelan) di tailor. Bukan cuma jas, program Su Misura meliputi pembuatan produk fashion lainnya seperti jaket, celana, kaos, dasi, sepatu, hingga ikat pinggang.
Servis ini mengakomodasi keinginan konsumennya. Tentu dengan kualitas dan sistem kontrol yang baku sesuai standar. Intinya, produk yang dipesan diperlakukan sangat akurat demi kepuasan konsumen yang sudah fanatik dengan produk Zegna. Memang, secara general Zegna diperuntukkan bagi pria yang relatif konservatif namun tetap mengikuti tren.
Yang menjadi benang merah dari karakter konsumen produk papan atas boleh jadi sama, yaitu fashionable dan established. Alhasil, produk-produk yang ditawarkan pun bukan sekedar pelengkap tubuh, melainkan pembentukan citra. Harga yang harus dibayar pun angkanya kian meroket. Mulai dari kisaran ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
Kesan pertama merupakan kunci terpenting bagi pebisnis. Kalau seseorang sudah “tenggelam” saat pertemuan pertama gara-gara caranya berpakaian, ini adalah tragedi! Seringkali kita menemukan seorang eksekutif yang berbusana mengesankan dari kaki hingga kepala. Namun, imej-nya menurun gara-gara dasi atau ikat pinggang yang tidak pas. Merugi? Sudah pasti! Artinya, style seseorang merupakan salah satu investasi penting. Yang jelas, asal kocek mendukung, semua bisa di-customized! (Burhan Abe)
Fashion Pro, Januari 2009