Memanjakan Mata dan Telinga

Tren pemakaian hi-fi makin meningkat di kalangan para eksekutif. Mereka rela merogoh koceknya lebih dalam demi mendapatkan kenikmatan audio visual dari peranti sound system masa kini dan perangkat home theater mutakhir. (Burhan Abe)

Kesempurnaan. Agaknya itulah yang selalu dicari para hi-fi mania. Istilah hi-fi sendiri berasal dari kependekan high fidelity audio visual entertainment. Maksudnya perangkat audio visual yang sangat peka dan mampu mereproduksi dan memancarkan suara yang sangat jernih dan bebas noise. Tidak ada kresek-kresek, tidak ada dengung, untuk visualnya tidak ada bintik-bintik, dan mampu menayangkan gambar terang maupun gelap dengan sangat baik.

Demi kesempurnaan itu pula yang membuat Francis Wanandi rela melakukan perburuan yang panjang untuk mendapatkan peralatan hi-fi di rumahnya. Direktur pemasaran sebuah perusahaan distribusi itu memang bukan muka baru sebagai penikmat audio video.

Sejak semasa SMU dulu, awal tahun 1980-an, Frans memang sangat hobi mendengarkan musik dan menonton film. Pada waktu itu sistem audio yang ada baru radio dan tape atawa pemutar kaset. “Saya juga punya piringan hitam, tapi itu jarang digunakan karena tidak praktis. Waktu itu juga belum ada yang namanya compact disc atawa CD,” kenangnya.

Sekarang, seiring dengan perkembangan teknologi di bidang audio, mulai bermunculan berbagai audio system yang ada, mulai dari piringan hitam, CD, dan terakhir DVD audio, format audio baru yang memiliki kualitas musik suround yang berbasis teknologi digital.

Begitu juga untuk sistem audio visual, mulai dari pita kaset (dulu namanya VHS Betamax, atau film video), berkembang menjadi laser disc, VCD MP3, hingga DVD video. Untuk pesewat televisi, berawal dari layar kaca cembung, flat, hingga tipe plasma yang bahannya menggunakan gas neon xebib di antara dua pelat kaca tipis, sehingga mampu mengeluarkan gambar yang sangat sempurna.

Perangkat untuk audio pun juga berkembang, mulai dari speaker, amplifier, equalizer, sampai dengan perangkat yang berfungsi memecah atau membagi suara. Kualitas suara pun makin lebih bagus. Inilah yang kita sebut sebagai era hi-fi. “Kita mendengarkan lagu seolah-olah kita berada di hadapan penyanyi, begitu jernih, dan transparan,” ujar Frans yang mengaku sudah mengeluarkan Rp 250 juta untuk menjalankan hobinya ini.

Harga perangkat hi-fi, apalagi yang mutakhir, memang tidak murah. Untuk peralatan high end bagi penggemar musik kelas berat, misalnya, yang terdiri dari pemutar CD, amplifier, serta speaker, harganya berkisar Rp 30-70 juta, tergantung merek serta kemampuannya.

Jika mengambil speaker merek Mordaunt-Shout MS914, misalnya, yang harganya Rp 4,3 jutaan cukup mampu menghasilkan sound yang berat namun dinamis. Tapi kalau kita memutuskan membeli speaker yang lebih mahal, sebutlah Quad 12l seharga Rp 7,8 jutaan niscaya suara yang dihasilkan pasti lebih yahud; ringan, detil, dinamis, transparan, dengan kedalaman suara bas yang luar biasa. “Ibaratnya, desah dan nafas seorang saksofonis pun terdengar jelas,” ujar seorang audiophile – sebutan untuk pecinta audio kelas berat.

Memang, buat audiophile, yang mereka cari bukan sekadar tonal harmony distortion biasa, yang sudah tersedia dalam perangkat hi-fi umum. Tapi reproduksi suara tengah yang natural yang tanpa kolorasi, terutama pada suara vokal manusia – mirip mendengar orang menyanyi di sebelah kita. Sementara untuk musik, nada basnya rendah, dalam, bulat, dan ketat, tanpa distorsi, bebas dari suara boxy dan boomy. Nada tingginya detil, jernih, seakan-akan tidak membebani telinga. Meski mendengar lebih dari lima jam, tapi tidak melelahkan.

Lalu, berapa dana yang dibutuhkan untuk membangun home theater? Tjandra Ghozalli, Pemimpin Redaksi Audio Video, membagi atas tiga kelas. Pertama, kelas A, dengan ruangan home theater yang harganya Rp 5 jutaan per meter persegi. Kelas B yang harganya Rp 4 jutaan per meter persegi. Dan kelas C yang harganya Rp 3 jutaan per meter persegi. “Jadi, kalau mau bikin ruangan kelas C seluas 4 x 6 m2, maka harga set up-nya sekitar Rp 72 juta,” katanya memberi contoh.

Itu baru ruangan berikut interior saja, belum termasuk kursi – yang biasanya cukup mahal (sekitar Rp 20 – 40 juta per biji), karena didesain untuk tidak untuk sekadar duduk tapi rebahan, plus ada tempat untuk menaruh minuman. Pendeknya dibuat senyaman mungkin, tidak kalah dengan Bioskop 21.

Related Stories

spot_img

Discover

Pemasaran Influencer di Asia Tenggara: Masa Kini & Masa...

Survei Vero terhadap influencer di Asia Tenggara memberikan gambaran mendalam tentang strategi pemasaran influencer...

Lulu Bistrot Hadirkan Menu Sunday Brunch Terbaru

Nikmati pengalaman brunch santai khas Prancis di spot favorit Canggu setiap Minggu. Minggu Anda kini...

Agora Mall, Destinasi Gaya Hidup Modern di Thamrin Nine...

Terletak di kompleks prestisius Thamrin Nine, Agora Mall terhubung langsung dengan landmark ikonis seperti...

Djournal Coffee Hadirkan Identitas Baru dengan Semangat yang Lebih...

Menunjuk Laura Basuki sebagai Chief Excitement Officer, Djournal Coffee Membawa Pengalaman Kopi ke Level...

Nasionalisme dalam Kabut Digital: Sebuah Refleksi atas Karya Denny...

Oleh: Burhan Abe Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi digital, Denny JA melalui...

Nasionalisme Di Era Algoritma

Oleh: Denny JA (Di tahun 2024, sambil memainkan aplikasi kecerdasan buatan, anak muda itu merenungkan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here