Di Indonesia, atau secara khusus di Jakarta, belum pernah ada penelitian spesifik mengenai absennya peran ayah di tengah keluarga. Namun, sejumlah penelitian luar membuktikan bahwa ketidakhadiran ayah di tengah keluarga dapat menyebabkan masalah pada perkembangan anak-anak mereka. Seperti dikutip www.menweb.org, dalam studi yang dilakukan oleh Kalter dan Rembar dari University of Michigan terbukti 63% anak mengalami problem psikologis subjektif. Di antaranya adalah gelisah, sedih, suasana hati mudah berubah, fobia, dan depresi.
Dalam penelitian itu terungkap pula hubungan antara berkurangnya peran ayah dengan menurunnya kemampuan anak dalam berprestasi. Risiko lain, 43% anak melakukan agresi terhadap orang tua.
Sumber-sumber penelitian ini bisa merefleksikan bagaimana risiko yang akan dihadapi orang-orang yang bergaya hidup bebas. Meski begitu, Raffly terlihat tidak setuju dengan angka-angka di atas. “Menurut saya, kehidupan di luar tidak bisa disamakan dengan kehidupan di sini. Di Timur, peran ibu masih sangat dominan, ayah bekerja di luar rumah saja,” ujarnya.
Raffly percaya bahwa dia bukan satu-satunya figur ayah yang kurang banyak berinteraksi dengan keluarga intinya. Ia juga percaya bahwa dia bisa menjadi figur ayah yang disegani anaknya meski ia terbilang jarang di rumah.
Raffly memang tidak sendirian. Bila ia bekerja di profesi yang sangat berhubungan dengan dunia malam, lain lagi ceritanya dengan Joseph. Sepintas, pria 41 tahun yang bekerja di sebuah perusahaan furniture ini adalah figur ayah yang baik. Namun, jika kita mengetahui bagaimana rutinitas kesehariannya, ia lebih cocok disebut bujangan. Seperti orang-orang Jepang, ia bangun ketika kedua anaknya sudah berangkat sekolah. Ia pulang di atas jam 12 ketika anak-anaknya telah pulas mendengkur. Begitulah yag terulang setiap hari kerja.
“Di awal pernikahan, rutinitas saya memang seperti ini. Setelah punya anak, sempat berubah beberapa tahun. Namun, setelah mereka mulai besar, saya kembali ke rutinitas lama saya,” ujarnya. Seperti Raffly, ia juga yakin banyak ayah yang menjalani rutinitas seperti hidupnya. Lalu, bagaimana tanggapan anak-anak dan istri orang-orang seperti Joseph?
“Pada mulanya istri saya sempat complain. Tapi setelah sekian lama, akhirnya dia tidak pernah mengusik kebiasaan saya ini lagi. Begitu juga anak-anak saya,” ujarnya sambil menambahkan bahwa bukan berarti keluarganya kehilangan hormat padanya.
Ia menceritakan, suatu hari, ia baru saja selesai party di rumah seorang temannya yang berulang tahun. Karena tidak bisa mengontrol diri, Joseph menenggak minuman lebih banyak dari biasanya. Ia pun pulang dengan sempoyongan hingga sampai ke rumah sekitar jam setengah satu malam. Tanpa dia duga, putranya yang berusia 10 tahun baru saja ke luar dari kamar mandi setelah buang air kecil. Istrinya pun terjaga karena Joseph memasuki rumah dengan bunyi-bunyi rusuh.
“Saat itu saya malu sekali pada anak saya karena tidak bisa memberikan contoh yang baik. Sekarang saya sudah bisa mengontrol diri saya agar kejadian seperti itu tidak terulang lagi,” tutup Joseph yang masih sering keluar-masuk club ini.
Meski menyenangkan, bagaimanapun gaya hidup ayah-ayah bebas ini berisiko terhadap kualitas keluarganya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa gaya hidup seperti ini kerap menjadi pemicu perceraian. Dan yang menjadi korban, siapa lagi kalau bukan anak-anak mereka.
Dalam Journal of Divorce, Harvard University, AS, Rebecca L. Drill, Ph.D, mengatakan, “Akibat perceraian orangtua dan absennya ayah setelah itu memiliki dampak luar biasa negatif terhadap perasaan anak. Sebagai contoh, perceraian orangtua dan kehilangan ayah terbukti berkaitan erat dengan kesulitan anak melakukan penyesuaian di sekolah, di lingkungan sosial, dan penyesuaian pribadi.”
Jadi, pilih lifestyle atau keluarga? (Abe)
20 Agustus 2007
Sumber: Male Emporium