Fashion, Merek, dan Pencitraan

Penggemar fashion adalah kalangan atas, terbatas, tapi mampu menggerakkan industri yang rodanya bertumpu pada gaya hidup itu. Mereka, yang dikenal sebagai platinum society menyikapi produk fashion tidak sekadar benda tapi juga status sosial. “Percaya atau tidak, barang-barang bermerek yang dipamerkan di toko ini, dalam dua hari saja bisa ludes. Apalagi kalau ada limited edition, malah bisa jadi rebutan,” ujar Dewa Ayu Teguh Mahasari, penulis Plaza Indonesia News.

Padahal, sebutlah sepasang sepatu merek Sergio Rossi harganya Rp 5,9 juta. Dewa Ayu yang sehari-harinya mengamati perkembangan penjualan produk-produk branded fashion di Plaza Indonesia, Jakarta ini juga percaya kalau tas Chloe model terbaru, terbuat dari kulit buaya yang dipamerkan pada peluncuran koleksi musim semi dan panas 2005 itu akan menjadi rebutan. Padahal, tas tangan handmade yang di dunia hanya diproduksi empat buah ini harganya Rp 97 juta!

Niscaya bukan Jakarta Big Bang! Apa pun yang dijual di Ibu Kota, termasuk produk terbatas seperti contoh di atas pasti ada pembelinya. Begitulah kelas atas, yang dikenal sebagai platinum society menyikapi produk fashion tidak sekadar benda tapi juga status sosial. Bukan bendanya itu sediri tapi pencitraan yang melekat menyertainya.

Fashion is all about personal style. Fashion bukan seragam yang keluar dari pabrik, demikian Ria Juwita, General Manager Retail, Lolita Lempicka. Hanya saja, untuk kasus di Indonesia yang industri fashionnya masih muda, pengikut modenya belum berani mengekspresikan diri secara bebas. Akibatnya, kalau mau bergaya, mereka melihat dulu tetangga atau komunitasnya. Maka, tak heran kalau high society di Jakarta dicerminkan oleh-ibu-ibu dengan rambut sasak tinggi menenteng tas Hermes. Jadi, status sosial di Indonesia ditentukan oleh merek yang dipakai.

Jangan heran kalau ada seorang wanita pengusaha atau ibu-ibu kaya setiap bulannya bisa membelanjakan uangnya lebih dari Rp 50 juta produk-produk international branded fashion, yang butiknya sudah ada di Jakarta. Komunitas mereka, dengan profil yang digambarkan di atas, tidak sedikit meski juga tidak besar. Contoh yang paling mendekati mungkin seperti yang digambarkan dalam film Arisan, yang anggotanya selalu memakai busana dan aksesoris mahal mode terbaru.

Dewa Ayu tidak melebih-lebihkan cerita tentang kegilaan belanja kaum platinum Ibu Kota tersebut. Ninik Puspitasari, pejabat PR Pedder Group di Indonesia, bahkan mengamini pengamatan Dewa Ayu tersebut. Menurut Ninik, kalau ada produk baru, para pelanggan setianya akan selalu menyempatkan diri mampir ke tokonya untuk melihat-lihat. Kalau ada yang cocok, pastilah mereka membeli. Tidak peduli berapa pun harganya.

Maka jangan heran kalau Sarah Leung, Marketing Communications Coordinator Pedder Group yang memegang 20 merek ternama di dunia—antara lain Dolce & Gabbana, Jimmy Choo, Rene Caovilla, Car Shoe, Balenciaga, Chloe, Giuseppe Zanotti, Helmut Lang, Luella, Marni, Mulberry, Marc Jacobs, Stella McCartney, Anya Hindmarch, dan Sergio Rossi—mengatakan bahwa Jakarta adalah pasar yang sangat prospektif bagi produk-produknya. Karena itu, setelah satu tahun melakukan tes pasar di sini, Pedder Group memutuskan berkonsentrasi penuh menggarap pasar Jakarta dengan memperbesar gerainya di Plaza Indonesia. Dalam masa tes pasar itu, menurut Sarah Leung, penjualan tokonya 50% lebih tinggi dari target awal!

Ninik tahu banget bagaimana memasarkan produk fashionnya di Jakarta. Kuncinya terletak pada pelayanan serta pendekatan personal kepada pelanggannya. “Kami harus tahu taste masing-masing pelanggan,” katanya di sela-sela peluncuran koleksi musim semi 2005 akhir April lalu – padahal di Indonesia hanya mengenal dua musim, hujan dan kemarau.

Photo by Alexi Romano on Unsplash

Untuk mengenali selera pelanggannya, On Pedder memiliki customer databased yang direkam dari setiap transaksinya. Berdasarkan databased itu, lanjut Ninik, On Pedder bisa menawarkan produk baru yang kemungkinan cocok dengan selera mereka. “Kami akan menelepon untuk menginformasikan produk baru itu. Kalau tertarik, mereka akan datang ke toko. Dan biasanya kalau cocok, barang akan langsung dibawa pulang.”

Selain lewat penyampaian informasi secara langsung melalui telepon, kata Ninik, informasi produk baru juga dilakukan lewat penyelenggaraan customer event—berupa trunk show—dan press event dengan mengundang wartawan sejumlah media. Tidak hanya itu, kampanye produk baru juga dilakukan lewat kerjasama dengan media—berupa peminjaman barang untuk keperluan pemotretan di halaman mode.

Related Stories

spot_img

Discover

Pemasaran Influencer di Asia Tenggara: Masa Kini & Masa...

Survei Vero terhadap influencer di Asia Tenggara memberikan gambaran mendalam tentang strategi pemasaran influencer...

Lulu Bistrot Hadirkan Menu Sunday Brunch Terbaru

Nikmati pengalaman brunch santai khas Prancis di spot favorit Canggu setiap Minggu. Minggu Anda kini...

Agora Mall, Destinasi Gaya Hidup Modern di Thamrin Nine...

Terletak di kompleks prestisius Thamrin Nine, Agora Mall terhubung langsung dengan landmark ikonis seperti...

Djournal Coffee Hadirkan Identitas Baru dengan Semangat yang Lebih...

Menunjuk Laura Basuki sebagai Chief Excitement Officer, Djournal Coffee Membawa Pengalaman Kopi ke Level...

Nasionalisme dalam Kabut Digital: Sebuah Refleksi atas Karya Denny...

Oleh: Burhan Abe Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi digital, Denny JA melalui...

Nasionalisme Di Era Algoritma

Oleh: Denny JA (Di tahun 2024, sambil memainkan aplikasi kecerdasan buatan, anak muda itu merenungkan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here