Dengan fasilitas hotspot yang penyebarannya makin merata membuat orang bisa melakukan aktivitas dan pekerjaan dari mana saja. Ngerumpi dan presentasi sekaligus, bisa dilakukan di kedai kopi. Gaya hidup di era digital yang semakin memanfaatkan teknologi nirkabel, mengubah paradigma lama tentang konsep meeting points.
Starbucks, Plaza Senayan Jakarta. Jam makan siang telah usai, tapi tidak ada tanda-tanda para pengunjung yang rata-rata para eksekutif muda itu bergegas-gegas kembali ke kantornya. Danny Wirianto, salah satunya, bahkan sibuk memelototi layar laptopnya. “Saya sedang menunggu email dari klien,” ujar lelaki 33 tahun itu sambil menyeruput Frappucino, variasi kopi yang disajikan dingin.
Pemilik Semut Api Colony, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kehumasan (PR) dan event organizer itu, merasa tidak harus bekerja di kantor untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Di kedai kopi ber-AC di plaza itulah ia menghabiskan sebagian besar waktunya. “Di tempat yang mempunyai fasilitas hotspot ini saya gunakan untuk baca email, browsing untuk mengetahui informasi terkini, menyusun agenda, bahkan membuat proposal,”katanya.
Asal tahu saja, hotspot adalah salah satu layanan yang disediakan penyedia jasa Internet, di mana dengan menggunakan layanan tersebut, pengguna dapat menikmati akses Internet nirkabel (wireless) melalui laptop atau PDA yang telah dilengkapi dengan teknologi Wi-Fi (wireless fidelitiy), di lokasi-lokasi tertentu, seperti kafe, mal, maupun hotel.
Konsep kantor tradisional memang tidak berlaku bagi Danny. Pekerjaannya mengharuskan ia menjalani mobilitas yang tinggi, bertemu klien di sebuah kafe, atau bekerja di venue yang ada fasilitas hotspot-nya. Agenda hariannya, sebagai contoh, jam 10 pagi ia ketemu teman di Time Break Café, Plaza Semanggi, dilanjutkan dengan makan siang, jam 2 siang ia bertemu klien di Mister Bean Coffee, Cilandak Town Square. Malamnya, tidak jarang ia teruskan dengan mengikuti acara di sebuah hotel berbintang, terutama kalau ia yang menjadi event organizer-nya.
“Jadi, tidak perlu ke kantor lagi, lebih efisien. Apalagi jalanan Jakarta kan makin macet saja. Yang penting, komunikasi saya dengan staf di kantor lancar-lancar saja,” ungkap jebolan Kendall College of Art & Design, yang mempunyai beberapa klien, seperti Bank Danamon, Bank Mandiri, LG, dan Paparon’s Pizza itu.
Danny memang tidak sendiri, banyak profesional muda, sebutlah marketing manager, konsultan, creative director, event organizer, pemilik perusahaan, bahkan freelancer yang tidak perlu berkantor, tapi memanfaatkan kafe-kafe yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot sebagai meeting points. Di era multimedia saat ini, berkomunikasi dengan mudahnya dilakukan oleh siapa saja, dengan siapa saja, via ponsel, atau perangkat nirkabel lainnya, seperti notebook, PC tablet, PDA, ‘komputer terbang’, dan seterusnya, sebagai communication tools.
Orang-orang dengan gaya hidup seperti Danny itulah agaknya merupakan peluang tersediri bagi sejumlah kafe atau coffee shop. Starbucks, misalnya, yang jumlah gerainya di Jakarta kini sudah 25 atau total 32 di seluruh Indonesia, menciptakan apa yang disebut sebagai the third place atau tempat ketiga sesudah rumah dan kantor bagi semua orang.
“Keberadaan Starbucks yang terletak di tempat-tempat yang strategis memudahkan orang untuk datang menikmati sajian minuman kopi berkualitas,“ jelas Kiki Soewarso, Public Relations Manager Starbucks Indonesia, PT Sari Coffee Indonesia.
Dengan fasilitas hotspot, demikian Kiki, pengunjung tidak hanya bisa berkomunikasi via dunia maya. Suasana yang nyaman membuat minum kopi di Starbucks membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati suasana, menikmati kopi sendirian, berdua atau beramai-ramai, bahkan untuk informal meeting dengan kolega. “Ada yang datang pagi hari, siang, sore, atau malam,’’ ujarnya.