Sementara itu Azizah Zakaria dari National University of Singapore (NUS) Center for the Arts, terpesona dengan komposisi musik Simak Dialog dan I Wayan Balawan. Benno Rama Dia, mewakili Brisbane Powerhouse, memilih kelompok tari Independent Expression, KITA Dance, dan Ni Kadek Yulia Puspasari. Sedangkan Liew Chin Choy dari Nanyang Academy of Fine Arts berminat pada tari Tongkonan dari Sanggar Kreatif Sulawesi Selatan.
Beberapa presenter lokal juga tidak ketinggalan. Penampilan Rury Nostalgia, misalnya, sudah diincar Martin Krumeck, yang memiliki sebuah gedung pertunjukan di Kuta, Bali. Ananda Sukarlan, pianis Indonesia yang datang mewakili Spanyol, tempat ia bermukim sekarang, berencana mengusung kelompok musik Metadomus dan I Nyoman Sura, koreografer dari Bali. Sedangkan Direktur Goethe Institut Marla Stukenberg merekomendasikan Teater Satu (Lampung) untuk tampil di festival teater Berlin – yang setiap tahun rutin diikuti teater dari Indonesia.
Hasil tersebut memang sebatas potensi, yang untuk mewujudkannya membutuhkan waktu. Hanya saja, di tengah kegamangan kita boleh bangga bahwa kesenian Indonesia mampu go international. Juga, jangan salah, gamelan Jawa, untuk menyebut salah satu contoh, sudah lama mendunia.
Di AS, misalnya saat ini tak kurang dari 300 set gamelan dengan ratusan grup yang memainkannya. Di Paris konon ada 15 grup dan di London 20-an grup gamelan. Di negara tetangga Australia, jangan ditanya lagi, grup-grup penabuh gamelan sudah terbentuk di Sydney, New England, Perth, Adelaide, Armidale.
Belum lagi di Jepang, Bulgaria, Ceko, dan beberapa negara di Eropa Timur. Bahkan komposisi gamelan Ketawang Puspowarno, karya Ki Tjokrowasito, sempat terbang ke luar angkasa, Voyage tahun 1977, bersama musik klasik karya Bach, Beethoven, dan Mozart.