IPAM 2005 memberikan kesempatan karya-karya seni pertunjukan tampil dan dikenal tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia. Dengan kata lain, acara ini adalah sebuah meeting point program yang mempertemukan para presenter dengan para seninam seni pertunjukan Indonesia. “Interaksi ini diharapkan akan menimbulkan kontak intensif, yang pada akhirnya berkembang menjadi kontrak,” jelas Bram Kushardjanto, CEO PT Gelar Nusantara, sebagai pelaksana program IPAM 2005 kali ini.
Acara ini merupakan salah satu peluang bagi para pekerja seni untuk tampil di pusat-pusat pertunjukan dunia. Program ini boleh jadi menjadi salah satu model penggerak industri kebudayaan Indonesia, juga dapat memberikan perspektif global kepada para seniman seni pertunjukan Indonesia dalam menangkap kesempatan untuk maju ke pasar internasional.
Memang, kesadaran itu selama ini belum tertanam di benak para artis, juga manajemen seni pertujukan Indonesia, khususnya seni pertunjukan seni tradisional. Mereka belum mengganggap penting soal itu, dan pada saat yang sama, pemerintah masih terus berdalih soal keterbatasan dana jika ditanya soal komitmennya untuk memajukan budaya tradisional. Sikap dunia usaha?
Setali tiga uang, belum ada kesadaran untuk membantu komunitas kesenian tradisional. Sebagian besar di antara mereka lebih percaya kepada kesenian pop yang lebih massanya. Bandingkan dengan Singapura, misalnya, yang selain menggerakkan industri kebudayaan pop, juga mendukung perkembangan kesenian tradisional – yang juga mempunya komunitas penggemarnya tersendiri. Bahkan di Korea, sudah biasa kalau perusahaan-perusahaan besar, sebutlah Hyundai, Daewo, dan lain-lain, bangga bisa mendanai keberadaan art center.
Asal tahu saja, IPAM memang lahir dari keprihatinan, ada satu keinginan dari dalam negeri sendiri untuk memberikan pandangan yang berbeda kepada dunia, terdorong akan kenyataan bahwa Indonesia memiliki kekayaan keragaman budaya. Faktanya, hampir 75% kesenian yang ada di Asia itu dimiliki oleh Indonesia, sebagian besar di antaranya adalah kesenian-kesenian tradisional, seperti upacara-upacara ritual di Bali, atau seni pertunjukan Dayak, yang sudah sangat menyatu dengan kehidupan masyarakatnya.
“Jika semua kekayaan ini diramu menjadi sebuah industri, maka kekayaan yang luar biasa ini selayaknya membuat Indonesia seperti macan tidur,” tambah Bram.
Obsesi Bram mungkin berlebihan. Apalagi, kita hanya bisa mengelus dada ketika menyaksikan fenomena seni pertunjukan tradisional Indonesia, yang makin hari makin kehilangan penontonnya, serta tanpa dukungan yang signifikan oleh pemerintah dan dunia usaha.
Itu sebabnya, kita mafhum, ketika IPAM ke 3 yang karena keterbatasan dana, terpaksa dimajukan sehari lebih cepat dari rencana. Bram yang oleh Ardika disebut “orang gila” karena dengan penuh semangat mau terus menghidupkan IPAM hingga ketiga kalinya, bahkan tidak bisa menyembunyikan keresahan hatinya. Seorang anggota panitia mengungkapkan, dana Rp 1,5 milliar yang dianggarkan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata tidak semuanya mengucur.
Menarik perhatian presenter internasional dan menelurkan kontrak memang tidak semudah membalik telapak tangan. IPAM tahun lalu, misalnya, yang diikuti 15 peserta, hanya 3-4 penampil saja yang dikontrak presenter internasional untuk bermain di luar negeri. Di antaranya adalah Mimi Rasinah, maestro tari Indramayu, yang akan mengadakan beberapa pementasan di Inggris selama dua minggu, bulan Juli lalu. “Nilai kontraknya sekitar 25 ribu dolar AS,” kata Bram. Ada lagi beberapa kelompok yang juga akan segera melawat ke luar negeri, yaitu Keraton Surakarta, ARMA Museum, dan Cudamani.
Bagaimana dengan IPAM tahun ini? Sejumlah seniman sudah dilirik untuk tampil di tingkat internasional, meski realisasinya masih butuh waktu. Alain Pare, presenter dari Kanada sekaligus pemimpin CINARS (IPAM-nya Kanada), misalnya, kabarnya tertarik dengan sejumlah penampilan, di antaranya penampilan Sanggar Sahita yang menampilkan Srimpi Srimpet, Ni Kadek Yulia Puspasari, Sasando dari Kupang, Simak Dialog, dan kelompok tari Mangkunegaran Solo.