Menurut Christine, pengaruh komunitas dan gaya hidup yang glamour menjadikan nilai-nilai hedonisme tumbuh merasuki kehidupan wanita yang bertipe enggan bekerja-keras. Pilihan menjadi wanita simpanan adalah yang terbaik di antara yang tidak baik. Daripada menjadi pelacur, daripada menjadi istri kedua, daripada bersusah-payah menjadi ini-itu lebih baik menjadi wanita simpanan.
Pada wanita, rasa kecewa dan frustasi yang terpendam terhadap orang-tuanya, dendam terhadap pria karena cintanya pernah ditolak atau diputus sepihak, frustasi karena belum mendapatkan pasangan yang diidamkan, kecewa hubungan asmara yang selalu kandas, dijadikan pembenaran dirinya untuk memilih menjadi wanita simpanan. Siapa yang tidak tergoda, tinggal di apatemen mewah, mengendarai mobil keluaran baru seharga ratusan juta rupiah…
Pembenaran dan kompromi terhadap godaan, rayuan, tawaran kesenangan, ini tidak terlepas dari adanya demand dan supply. Ada wanita yang mau menjadi wanita simpanan karena ada pria yang menawarkan posisi ini. “Pria jenis ini sudah pasti telah berkeluarga, kaya, gombal, dan suka petualangan seks. Petualangan seks dibungkus dengan aroma cinta dan nafsu terjalinlah suatu hubungan yang terlarang,” terangnya.
Tidak mudah memang menjalin hubungan terlarang ini. Menjadi wanita simpanan pun penuh dengan perjuangan dan strategi yang jitu. Tidak sedikit wanita simpanan yang cukup “pintar”, dengan berbagai upaya mencoba memenuhi obsesinya untuk tujuan kelancaran atau kemudahan karier, mendongkrak popularitas, dan memastikan jaminan masa depannya. Pria yang menjadi incaran adalah yang kaya, punya jabatan atau kedudukan atau kekuasaan. Awalnya saling memanipulasi, akhirnya saling menipu diri.
(Burhan Abe)
ME, 2007