Perilaku heteroseksual adalah perilaku psikoseksual dengan orientasi psikoseksual yang optimal. Artinya, minat seksual tertuju pada pasangan lain jenis dewasa. Perkembangan heteroseksual yang wajar ini sangat dipengaruhi oleh aspek genetik, pola asuh, pergaulan serta kemulusan perkembangan tahapan psikoseksual terdahulu.
Sementara itu, perkembangan perilaku homoseksual dan biseksual dapat terjadi oleh berbagai sebab. Yang pertama adalah faktor biologik-konstitusional, yaitu bila ternyata hormon perempuan mendominasi peran hormon laki-laki. Padahal orang tersebut karakteristik fisiknya ditandai oleh seks biologik laki-laki.
Lalu faktor internal yang bersifat sadar, sangat terkait dengan iklim relasi yang terbina dengan ayah dan ibu sebagai figur otoritas lain jenis atau sejenis dengan anaknya. Misalnya, figur ayah yang dominan dan otoriter bisa membuka peluang anak laki-laki justru mengambil alih peran keperempuanan dari figur ibu dan proses identifikasi dalam pembentukan identitas seksual, sehingga berkembanglah identitas psikoseksual keperempuanan yang manifest dalam bentuk perilaku homoseksual.
Ada lagi karena faktor “kecelakaan” sehingga orang menjadi homoseksual. Pria yang berwajah imut-imut, misalnya, sering menjadi sasaran obyek pemuas dorongan erotik yang muncul pada sesama remaja. Dari iseng-iseng atau mereka melakukan eksperimen dalam hubungan sesama jenis, kemudian pada masa dewasa mereka menjadi ketagihan – akibat pengalaman erotik yang menyenangkan tersebut. Istilah masa kini “jeruk makan jeruk”.
Pertanyaannya, apa perbedaan hakiki antara perilaku homoseksual dan biseksual? Biseksual adalah suatu perilaku psikoseksual yang menempatkan dua jenis kelamin sebagai obyek seksual dalam valensi yang seolah berimbang. Penderita biseksual dapat mengalami perangsangan erotik baik dari laki-laki maupun perempuan, sehingga penderita ini dapat melakukan hubungan intim dengan pasangan laki-laki dan juga dengan pasangan perempuan.
Namun dari pengalaman praktik psikologi selama ini, demikian Sawitri, diperoleh kenyataan bahwa pada dasarnya penderita biseksual analog dengan penderita homoseksual, hanya pada penderita biseksual oleh karena berbagai sebab mampu menempatkan pertimbangan status sosial sebagai pengendali dorongan homoseksualnya.
Jadi, seorang selebriti, misalnya, akan mempertahankan kehidupan rumah tangganya yang “normal”, sambil di luar tali pernikahannya, ia pun menyalurkan dorongan perilaku homoseksualnya dengan sesama pria. Boleh jadi, pernikahan yang dlakukan selama ini hanya topeng belaka untuk menutupi perilaku seksualya yang menyimpang.
Tapi yang jelas, perilaku homoseksual atau biseksual, meski tdak bisa diterima sepenuhnya, sudah menjadi wacana yang terbuka di Indonesia. Kalau film bisa menjadi gambaran riil masyarakat, maka “Arisan” yang mengungkap kehidupan gay, yang banyak digemari bahkan menyabet beberapa penghargaan, seperti menggarisbawahi fenomena tersebut.
Di luar Indonesia film-film yang bercerita tentang kehidupam kaum homoseksual atau yang menyerempet tema tersebut, lebih banyak lagi. “Interview With The Vampire” atau “Brokeback Mountain”, untuk menyebut beberapa.
Yang menarik, film-film bertema percintaan sesama pria tidak saja menarik perhatian dan menyedot banyak penonton, tapi juga banyak yang memenangkan piala penghargaan. Itu sebabnya, aktor seperti Brad Pitt, misalnya, menyukai peran seperti itu. “Saya ingin peran yang tidak biasa, seperti menjadi gay,” ujar aktor ganteng yang menjadi idola para wanita itu. Apakah berarti kekasih Angelina Jolie dan mantan suami Jennifer Aniston ini biseksual? Mari kita tanyakan pada rumput yang bergoyang… (Burhan Abe)
Majalah ME 2007