Karakter pembeli keempat merek yang dipegang BPA, menurut Anita, adalah spesifik. Satu-satunya benang merah yang boleh jadi jadi sama adalah fashionable dan established mengingat produk yang dijual bukan sekadar penutup tubuh tapi produk fashion, serta harganya yang tidak murah. Semuanya itu ada di database yang jumlahnya ribuan, dengan klien potensial sekitar 600 – 700 orang. Bagaimana cara BPA membangun citra dan mempertahankan loyalitas pelanggannya?
Sedikitnya, demikian Anita, ada tiga langkah. Pertama, melalui outlet image yang khas – bahkan masing-masing merek ada panduan umumnya dari prinsipal. Kedua, dari people power, yakni tenaga kerja, mulai dari pramuniaga sampai penyelia yang mempunyai pengetahuan tentang produk yang dijual hingga pelayanan kepada pelanggan. Dan terakhir, customer retaintion management. Melalui VIP Program, misalnya, pelanggan berhak mendapatkan diskon 10-15 persen sepanjang tahun dengan kondisi tertentu, tidak di tujuh gerainya di Jakarta dan Surabaya, tapi juga di seluruh dunia.
Untuk strategi promosi, iklan di media bukan yang utama – meski tidak dihilangkan tapi secara selektif. Penyebaran informasi, baik info produk terbaru dan program promosi, justru lebih efektif melalui database system yang mereka miliki.
“Boleh dikatakan lebih banyak program PR ketimbang advertising,” ungkap Anita sambil menambahkan bahwa secara berkala ada undangan untuk wartawan liputan fashion show di Milan dan kota-kota mode dunia.
Yang tidak kalah menariknya adalah program cobranding, bekerjasama dengan Citibank dan HSBC. Dengan program tersebut, pemilik kartu kredit platinum yang diterbitkan kedua bank tersebut akan mendapat diskon khusus untuk pembelian Versace, Versus, GF Ferre, dan Zegna. Dengan program itu, Anita memang tidak menyebut hasil penjualan keempat merek tersebut secara nominal, tapi hanya mengungkapkan ada pertumbuhan sekitar 10% setiap tahun.
Tidak hanya BPA, langkah yang sama juga dilakukan oleh PT Mahagaya Perdana. Dengan bekerjasama dengan Citibank (sebagai penerbit kartu kredit jenis gold dan platinum), perusahaan yang memegang sejumlah merek eksklusif itu menawarkan diskon 15-20 persen untuk pembelian koleksi musim semi dan dingin 2004 produk Aigner, Boss Hugo Boss, Coccinelle, Dunhill, Miu Miu, dan Tod’s (sepatu).
Mode adalah cerminan keadaan sosial-ekonomi dan suasana zaman. Siapa bisa menguasai hal itu, ia akan bertahan. Kesadaran bahwa para konsumen sekarang lebih smart, tak mau lagi berbelanja membabi buta sudah muncul sejak terjadi krisis moneter pada kuartal ketiga 1997, membuat Mahagaya selektif dalam melakukan promosinya. Beriklan di media bukan hal yang dihindari, tapi Mahagaya melakukannya juga sangat selektif. Meminjamkan koleksi terbarunya untuk halaman mode di majalah jutsru lebih menarik. Juga menyeponsori fashion show yang dihadiri oleh target pasar merek-merek tersebut.
Sementara Christian Dior di Indonesia secara berkala mengadakan trunk show, pergelaran terbatas untuk kalangan terbatas, termasuk media. Dibandingkan dengan label-label internasional lain yang juga hadir di Jakarta, dan juga bila dibandingkan perancang Indonesia sendiri, pendekatan terhadap pasar yang dilakukan Dior tergolong agresif. Menurut operation manager Christian Dior Indonesia, strategi pemasaran ini adalah salah satu cara mendekatkan diri langsung pada konsumen adalah juga bagian dari mendidik konsumen tentang produk Dior.
”Kami juga bisa menjelaskan tentang suatu produk, mengapa sebuah gaun malam, misalnya, harganya sampai Rp 60 juta,” katanya.
Dengan strategi pemasaran yang terencana yang mendekatkan diri kepada pelanggan dan disertai dana memadai, Dior — yang di Indonesia memakai artis penyanyi Titi DJ sebagai ikonnya — bisa mengenal selera orang Indonesia lebih baik, sehingga bisa lebih memenuhi selera pembeli. (Burhan Abe)
SWA, 25 November 2004